Kau, aku dan secangkir kopi

Monday, August 24, 2015

Kau, aku dan secangkir kopi



“It’s not over yet, huh?” tanyaku sambil memainkan cangkir kopi dihadapanku, yang isinya sudah dingin. Sudah 20 menit dia duduk didepanku, dan satu-satunya kalimat yang keluar dari mulutnya adalah ‘Aku tidak lapar’ ketika aku menanyakan dia mau makan apa.

“What, what?” dia mengangkat wajahnya, setengah berpikir. Akhirnya aku berhasil menarik perhatiannya. 
“Your dream! Your missions! Or whatever you call it!” 
“.....................” dia menatapku intens. Membuatku berpikir apa aku salah bicara, lagi?
“I meant, can you stop all these crazy things? And start focus on yourself? I meant, your real self? And people around you, maybe?”
“Kau menyuruhku menyerah?”
“Ya!” jawabku tegas. Aku sudah benar-benar muak dengan semua yang terjadi padanya. Semua hal buruk dan keras kepalanya dia untuk tetap mempertahankannya.
“....................” dia hanya diam menatapku. Tampak berpikir – seperti biasa. Dan aku sudah tidak peduli lagi apa yang dipikirkannya.
“Tidakkah kau lelah?” tanyaku pelan. Oke, aku yang terdengar lelah sekarang.
“Tidak! Atau kau?” tanyanya penuh selidik.
“Ya! Aku lelah!” jawabku akhirnya. 
“..........................”
“Melihatmu berjuang mati-matian seperti itu, disakiti, jatuh, ataupun menangis berhari-hari. Tapi tetap saja kau tidak mengenal kata takut apalagi menyerah. Ya, itu semua membuatku lelah.” 
“...........................” dia masih diam. Menatapku dengan tatapan penuh tanya.
“Tidak bisakah kau berdamai dengan hidupmu? Berdamai dengan semua yang dapat kau raih dan yang tidak? Menerima jalan yang ada dihadapanmu sekarang? Tanpa melakukan apa-apa lagi untuk merubahnya? Tanpa memperjuangkan apapun lagi?” aku tak bisa menahan diri lagi. Dia menderita, semua orang tahu itu. Dia satu-satunya yang tidak mengetahuinya. Dasar bodoh.
“What the hell do you wanna say?” suaranya rendah dan dalam, membuatku kembali berpikir ‘apa yang kukatakan ini benar?’
“.............” aku tak tau jawaban seperti apa yang bisa kuutarakan dihadapannya.
“Tidak bisakah kau berhenti sekarang?” lanjutku akhirnya. “Berhenti dan hidup sebagaimana yang lainnya hidup?”
“Maksudmu, menyerah?” 
“Ya, kalau itu kalimatmu!” kuaduk kopiku – gugup. Aku tidak salah, bukan? Aku melakukan hal benar, bukan? Aku hanya ingin melakukan hal terbaik untuknya. 
“Apa aku benar-benar semenyedihkan itu?” suaranya nyaris tak terdengar.
“No! Of course not!” aku gelagapan. Aku benar-benar ingin membenturkan kepalaku ke tembok sekarang, kenapa sebodoh ini? Kalau dipikir-pikir lagi, bukankah seharusnya aku mendukungnya? Menyemangatinya? Mengatakan semua baik-baik saja, kau bisa mengatasinya, semua akan berlalu, ada aku disini! ya, bukankah ini yang seharusnya kukatakan? Dia sedang terpuruk, dan aku malah memperburuk keadaan! Benar-benar bodoh!
“Aku masih bisa bertahan ketika semua orang menyuruhku menyerah. Bahkan ketika mereka mengatakan aku anak tidak tau diuntung, aku hanya benalu bagi orang-orang disekitarku, aku masih tidak apa-apa!” suaranya tercekat. “Aku tetap merasa kuat dan merasa bisa menghadapi semuanya. Seperti apapun orang diluar sana menilaiku, aku tidak peduli. Karena aku tau aku punya seseorang yang selalu ada dipihakku. Selalu disampingku tak peduli apapun. Seseorang yang selalu membuatku kuat! Dan juga alasan kekuatanku selama ini!” matanya berkaca-kaca.
“Aku tidak bermaksud..” 
“Kalau sekarang bahkan seseorang itu juga mulai mempertanyakan kewarasakanku. Memintaku menyerah. Apa yang harus kulakukan?” butiran bening mengalir dipipinya. Aku selalu sakit melihatnya kesakitan. Ikut terluka ketika dia terluka. Turut terhina ketika dia dihina. Selalu hancur ketika dia hancur. Tapi rasanya tidak pernah separah ini. Apa yang harus kulakukan? Ya, ini menjadi kalimatku sekarang. Apa yang harus kulakukan untuk mengembalikan keadaan ini?
“Yakk! Apakah cuma begini saja kau memperjuangkan mimpimu? Dasar bodoh!” aku tidak tau apa yang ada di otakku hingga akhirnya kalimat ini yang keluar dari mulutku.
“Eh...?” dia kebingungan – tentu saja.
“Ckk, bahkan baru digertak sedikit saja kau sudah menyerah! Bodoh!” aku melanjutkan aksiku, sementara menyiapkan mental menerima ledakan amarahnya.
“Kau, hanya, menggertakku?” tanyanya pelan. Aku hanya mengangguk, waswas. “Tapi kau tidak seperti sedang menggertak!” dia menatapku, tatapan menilai.
“Aktingku sudah ada kemajuan bukan? Hahaa! Sudah kubilang aku berbakat! Sepertinya aku harus menghubungi produser yang hari itu!” Ya, kali ini aku berakting, saat ini.
“Ya ampun apa kau tau aku ketakutan?” dia menepuk tangannya sekali, menandakan suasanya hatinya sudah berubah, lalu menyesap kopinya – tampak lega. “Wah, rasa kopiku benar-benar pas!” ujarnya pada diri sendiri. What? Segini saja? Tidak ada cangkir atau sepatu yang melayang? Atau gebrakan meja, barangkali?
“Kau tidak, marah?” tanyaku takut-takut. Dia melotot kearahku.
“Kau tau? Kau benar-benar seperti kopi!” 
“Eh.....?”
“Seperti kopi ini, tidak masalah bagiku jika ini hanya air dan kopi. Aku masih bisa menikmatinya. Tapi aku tidak akan sanggup meminumnya jika ini hanya air dan gula!”
“Eh.....?” dia hanya tersenyum sambil melemparkan pandangannya kejalanan diluar. Sementara aku berpikir keras memahami perkataannya.
“Jadi, aku kopi?” tanyaku setelah beberapa detik.
“Ya! Pahit!” jawabnya tanpa menoleh sedikitpun kearahku, masih melihat ke jalanan, masih tersenyum.
“Tapi banyak yang suka kopi pahit, asal kau tau!” balasku, yang bahkan aku tidak mengerti kenapa aku harus membela diri dihadapannya.
“Yeahh,,, Me too!” aku tersenyum mendengar jawabannya. 
“Krimer?” tanyaku mendadak, bodoh.
“Eh....?”
“Siapa yang jadi krimermu?”
“............” dia menatapku bingung, matanya menyipit. See? Bahkan untuk pertanyaan iseng seperti ini saja dia berpikir keras! Dasar bodoh! “Aku selalu mendapatkannya sepaket dengan kopiku!” jawabnya, lalu menyesap habis kopinya. 
"..............” aku tidak bisa merespon ucapannya. Pikiranku melayang entah kemana.
“Yaakk! Apa kau mau nginap disini?” kudengar suaranya meninggi. Kuperhatikan sekeliling, sudah mau tutup rupanya. “Kau yang bayar!” ujarnya sambil berdiri dan melangkah keluar, meninggalkanku yang masih melongo.
“What? Bukankah minggu ini giliranmu? Yaakk!” 


Kamar kehidupan, June 04th 2015 @ 08.42pm
Dedicated to someone out there who just said "Sekali-kali dengerin gua kek!" But then said "Ok, you won!" Hahaaaa... For standing there no matter what, thanks... 

0 comments :