August 2015

Tuesday, August 25, 2015

Kau, aku dan secangkir kopi (lagi)



"Aku tau rasanya!"
"Eh??" 
"Sakitmu itu, aku pernah merasakannya!" 
"........ Maksudmu, karena aku?"
"Wah kau sudah tau rupanya?"
"….........."
"Sudahlah! Percaya padaku, kau bisa mengatasinya!" 
"Apa sesakit ini?"
"Eh?"
"Sakit yang kutimbulkan, apa separah ini?"
"Umm.... Aku tidak tau seberapa parah yang kau rasakan sekarang. Tapi kurasaaaaa, ya, sakitku bahkan terlihat lebih parah!" 
"Benarkah?"
"Kurasa! Karena bahkan setelah semua yang kau lakukan padaku, aku,tetap tidak bisa membencimu! Paling tidak sekarang kau membencinya, bukan?"
"..........."
"Yaaa,,, orang bilang lebih menyakitkan ketika kau sangat ingin dan berharap bisa membenci seseorang yang melukaimu, tapi ternyata kau tidak bisa! Kau tetap menyerahkan dirimu untuk kembali dan kembali dilukai!" 
"............."
"Masih sakit?"
"........ Ya, semakin sakit ketika mengetahui aku telah membuat seseorang merasakan hal yang sama!"
"Jangan dipikirkan! Aku tidak bermaksud membuatmu merasa lebih buruk!"
".............."
"Aku hanya ingin kau tahu, bahwa terluka, semua orang merasakannya! Akupun begitu!"
".............."
".............."
"Yap!! Aku merasa sangat beruntung sekarang! Paling tidak aku punya seseorang disisiku!"
"Ya, tentu saja! Kau selalu memilikinya..."
"Boleh aku minta sesuatu?"
"Tentu saja!"
"Kopimu...... Apa sudah dingin?"
"Hahaa... Kupikir luka tidak akan bisa membuatmu membenci kopi dingin!"
"Kau tau kenapa aku suka kopi dingin?"
"Karena kau hanya minum kopi untuk menemanimu berpikir. Dan kau selalu butuh waktu lama untuk berpikir dan merenung! Merenungi semua hal dalam hidupmu! Hal sepele itu, bagaimana mungkin aku tidak tau?!" 
"Hahaa... Kali ini bukan karena itu!"
"Oh ya? Ada alasan lain?"
"Karna dengan begitu, akan membuat seseorang duduk lebih lama, bersamaku!"
".........."
".........."
"Padahal sebenarnya kau tak perlu melakukan apa-apa! Akan ada seseorang yang dengan 
senang hati duduk disampingmu ketika kau butuh! Dasar bodoh!"
"Eh...?"
"Kurasa sakitmu sudah berkurang! Cepat habiskan kopimu!"


Kamar kehidupan, May 04th 2015

The feeling has gone! Congratulation! [Repost]



Bismillah...

Jadi seperti ini saja? Seperti ini saja perasaan mempermainkan? Seperti ini saja hati terbolak-balik? Terlalu mudah? Iya! Untuk tetap memilikinya setelah bertahun-tahun, tak peduli sekeras apa usaha untuk menepisnya, tak peduli berapa banyak cara yang sudah dilakukan untuk menghilangkannya, tak pernah berhasil. Dan sekarang hancur lebur begitu saja tanpa disadari. Hancur tanpa bekas. Seperti segenggam debu ditengah padang pasir, diterbangkan angin, mengawang, lalu jatuh ke tanah. Jadi tak berarti, tak bermakna, tak pernah dipertanyakan lagi, apalagi diperhitungkan. Ya, begitu saja! Begitu mudahnya!

Dulu, bisa berjam-jam mempelototi namanya di kontak ponsel. Memikirkan apa yang bisa dijadikan alasan untuk mengiriminya pesan. Lalu membenturkan kepala ke tembok karena tidak ada ide! Ya, dulu begitu!

Monday, August 24, 2015

Kau, aku dan secangkir kopi



“It’s not over yet, huh?” tanyaku sambil memainkan cangkir kopi dihadapanku, yang isinya sudah dingin. Sudah 20 menit dia duduk didepanku, dan satu-satunya kalimat yang keluar dari mulutnya adalah ‘Aku tidak lapar’ ketika aku menanyakan dia mau makan apa.

“What, what?” dia mengangkat wajahnya, setengah berpikir. Akhirnya aku berhasil menarik perhatiannya. 
“Your dream! Your missions! Or whatever you call it!” 
“.....................” dia menatapku intens. Membuatku berpikir apa aku salah bicara, lagi?
“I meant, can you stop all these crazy things? And start focus on yourself? I meant, your real self? And people around you, maybe?”
“Kau menyuruhku menyerah?”
“Ya!” jawabku tegas. Aku sudah benar-benar muak dengan semua yang terjadi padanya. Semua hal buruk dan keras kepalanya dia untuk tetap mempertahankannya.
“....................” dia hanya diam menatapku. Tampak berpikir – seperti biasa. Dan aku sudah tidak peduli lagi apa yang dipikirkannya.
“Tidakkah kau lelah?” tanyaku pelan. Oke, aku yang terdengar lelah sekarang.
“Tidak! Atau kau?” tanyanya penuh selidik.
“Ya! Aku lelah!” jawabku akhirnya. 
“..........................”
“Melihatmu berjuang mati-matian seperti itu, disakiti, jatuh, ataupun menangis berhari-hari. Tapi tetap saja kau tidak mengenal kata takut apalagi menyerah. Ya, itu semua membuatku lelah.” 
“...........................” dia masih diam. Menatapku dengan tatapan penuh tanya.
“Tidak bisakah kau berdamai dengan hidupmu? Berdamai dengan semua yang dapat kau raih dan yang tidak? Menerima jalan yang ada dihadapanmu sekarang? Tanpa melakukan apa-apa lagi untuk merubahnya? Tanpa memperjuangkan apapun lagi?” aku tak bisa menahan diri lagi. Dia menderita, semua orang tahu itu. Dia satu-satunya yang tidak mengetahuinya. Dasar bodoh.
“What the hell do you wanna say?” suaranya rendah dan dalam, membuatku kembali berpikir ‘apa yang kukatakan ini benar?’
“.............” aku tak tau jawaban seperti apa yang bisa kuutarakan dihadapannya.
“Tidak bisakah kau berhenti sekarang?” lanjutku akhirnya. “Berhenti dan hidup sebagaimana yang lainnya hidup?”
“Maksudmu, menyerah?” 
“Ya, kalau itu kalimatmu!” kuaduk kopiku – gugup. Aku tidak salah, bukan? Aku melakukan hal benar, bukan? Aku hanya ingin melakukan hal terbaik untuknya. 
“Apa aku benar-benar semenyedihkan itu?” suaranya nyaris tak terdengar.
“No! Of course not!” aku gelagapan. Aku benar-benar ingin membenturkan kepalaku ke tembok sekarang, kenapa sebodoh ini? Kalau dipikir-pikir lagi, bukankah seharusnya aku mendukungnya? Menyemangatinya? Mengatakan semua baik-baik saja, kau bisa mengatasinya, semua akan berlalu, ada aku disini! ya, bukankah ini yang seharusnya kukatakan? Dia sedang terpuruk, dan aku malah memperburuk keadaan! Benar-benar bodoh!
“Aku masih bisa bertahan ketika semua orang menyuruhku menyerah. Bahkan ketika mereka mengatakan aku anak tidak tau diuntung, aku hanya benalu bagi orang-orang disekitarku, aku masih tidak apa-apa!” suaranya tercekat. “Aku tetap merasa kuat dan merasa bisa menghadapi semuanya. Seperti apapun orang diluar sana menilaiku, aku tidak peduli. Karena aku tau aku punya seseorang yang selalu ada dipihakku. Selalu disampingku tak peduli apapun. Seseorang yang selalu membuatku kuat! Dan juga alasan kekuatanku selama ini!” matanya berkaca-kaca.
“Aku tidak bermaksud..” 
“Kalau sekarang bahkan seseorang itu juga mulai mempertanyakan kewarasakanku. Memintaku menyerah. Apa yang harus kulakukan?” butiran bening mengalir dipipinya. Aku selalu sakit melihatnya kesakitan. Ikut terluka ketika dia terluka. Turut terhina ketika dia dihina. Selalu hancur ketika dia hancur. Tapi rasanya tidak pernah separah ini. Apa yang harus kulakukan? Ya, ini menjadi kalimatku sekarang. Apa yang harus kulakukan untuk mengembalikan keadaan ini?
“Yakk! Apakah cuma begini saja kau memperjuangkan mimpimu? Dasar bodoh!” aku tidak tau apa yang ada di otakku hingga akhirnya kalimat ini yang keluar dari mulutku.
“Eh...?” dia kebingungan – tentu saja.
“Ckk, bahkan baru digertak sedikit saja kau sudah menyerah! Bodoh!” aku melanjutkan aksiku, sementara menyiapkan mental menerima ledakan amarahnya.
“Kau, hanya, menggertakku?” tanyanya pelan. Aku hanya mengangguk, waswas. “Tapi kau tidak seperti sedang menggertak!” dia menatapku, tatapan menilai.
“Aktingku sudah ada kemajuan bukan? Hahaa! Sudah kubilang aku berbakat! Sepertinya aku harus menghubungi produser yang hari itu!” Ya, kali ini aku berakting, saat ini.
“Ya ampun apa kau tau aku ketakutan?” dia menepuk tangannya sekali, menandakan suasanya hatinya sudah berubah, lalu menyesap kopinya – tampak lega. “Wah, rasa kopiku benar-benar pas!” ujarnya pada diri sendiri. What? Segini saja? Tidak ada cangkir atau sepatu yang melayang? Atau gebrakan meja, barangkali?
“Kau tidak, marah?” tanyaku takut-takut. Dia melotot kearahku.
“Kau tau? Kau benar-benar seperti kopi!” 
“Eh.....?”
“Seperti kopi ini, tidak masalah bagiku jika ini hanya air dan kopi. Aku masih bisa menikmatinya. Tapi aku tidak akan sanggup meminumnya jika ini hanya air dan gula!”
“Eh.....?” dia hanya tersenyum sambil melemparkan pandangannya kejalanan diluar. Sementara aku berpikir keras memahami perkataannya.
“Jadi, aku kopi?” tanyaku setelah beberapa detik.
“Ya! Pahit!” jawabnya tanpa menoleh sedikitpun kearahku, masih melihat ke jalanan, masih tersenyum.
“Tapi banyak yang suka kopi pahit, asal kau tau!” balasku, yang bahkan aku tidak mengerti kenapa aku harus membela diri dihadapannya.
“Yeahh,,, Me too!” aku tersenyum mendengar jawabannya. 
“Krimer?” tanyaku mendadak, bodoh.
“Eh....?”
“Siapa yang jadi krimermu?”
“............” dia menatapku bingung, matanya menyipit. See? Bahkan untuk pertanyaan iseng seperti ini saja dia berpikir keras! Dasar bodoh! “Aku selalu mendapatkannya sepaket dengan kopiku!” jawabnya, lalu menyesap habis kopinya. 
"..............” aku tidak bisa merespon ucapannya. Pikiranku melayang entah kemana.
“Yaakk! Apa kau mau nginap disini?” kudengar suaranya meninggi. Kuperhatikan sekeliling, sudah mau tutup rupanya. “Kau yang bayar!” ujarnya sambil berdiri dan melangkah keluar, meninggalkanku yang masih melongo.
“What? Bukankah minggu ini giliranmu? Yaakk!” 


Kamar kehidupan, June 04th 2015 @ 08.42pm
Dedicated to someone out there who just said "Sekali-kali dengerin gua kek!" But then said "Ok, you won!" Hahaaaa... For standing there no matter what, thanks... 

For a man who just cracked inside





Bismillah....


"Gua capek!" ujarnya setelah hening yang panjang. Dia datang bilang mau cerita, tapi sudah belasan menit berlalu dan tidak ada kalimat berarti yang keluar dari mulutnya. Dan kalimat ini adalah kalimat pertamanya sejak aku bertanya 'Loe kenapa?' beberapa menit lalu. Matanya menerawang jauh, terlihat lelah. Aku hanya menatapnya heran. Capek? Sejak kapan kata ini ada dalam kamusnya? "Gua gag boleh bilang capek ya?" tanyanya seolah tau isi otakku. 

"Bukan! Tentu aja boleh, tapi aneh aja....!" 

"Barusan nelfon bokap. Dan seperti biasa, endingnya selalu menjungkirbalikkan emosi gua!"

".........." aku hanya diam. Sangat mengerti hubungannya dengan sang ayah. 

"Loe tau gua orang hebat bukan? Gua kuat! Tangguh! Keras! Tak terkalahkan, bukan? Tapi hari ini gua bener-bener capek! Lelah!"

".........." lagi-lagi aku hanya diam. Aku tau, diam satu-satunya hal terbaik yang bisa kulakukan untuknya.

Sunday, August 23, 2015

Duet Nulis bareng Nyukik..


Authors: Deslani Khairunnisa’, Rizky Abdillah
Editor: Deslani Khairunnisa’

“Kamu tidak bisa seperti ini terus!” laki-laki itu menatap perempuan didepannya sambil mendengus kesal. Sementara yang ditatap sedang sibuk mengunyah makanannya, entah mendengarkan entah tidak.
“Kau tidak mendengarku?”
“Umm??” perempuan itu mengangkat kepalanya dengan mata lebar, lalu mengerjap beberapa kali. “Kau harus coba ini!” ujarnya cepat sambil menaroh sepotong paru goreng ke sudut piring laki-laki itu – yang bahkan isinya masih utuh.
“Kenapa kau selalu seperti ini?”
“Seperti apa?” acuh tak acuh perempuan itu malah balik bertanya.
“Oke...” laki-laki itu menghela napas panjang sambil memperbaiki posisi duduknya. Dia tau sekeras apa kepala makhluk dihadapannya. Perempuan ini tak bisa dihadapi dengan cara seperti ini. “Ini terakhir kalinya aku mendengar kau tak makan dua hari!”
“Good! Artinya kita akan terus makan bersama!” mata si perempuan berbinar disertai anggukan mantap – seolah dia baru saja menyimpulkan sesuatu dari perdebatan alot.
“Yaaaakkk! Kau belum paham juga? Kau tak bisa terus-terusan seperti ini. Bagaimana mungkin kau tak makan dua hari hanya karena kau tak punya teman makan?”

Just stay there, then




“Kau mulai merasakannya?” tanyanya sambil meregangkan tubuhnya. Dia berdiri membelakangiku, sekitar dua meter didepanku.
“Apanya?” tanyaku bingung.
“Ketakutan!” dia berbalik kearahku. “Akan semuanya!”
“Eh?”
“Kau mulai merasakannya, bukan?” dia sudah duduk disampingku.
Aku tercekat.
“Perlukah kita lari?” tanyanya setelah sekian lama. Aku hanya menatapnya bingung. “Kalau terlalu berat, aku bisa membawamu pergi!”
“Tunggu! Apa kau sedang mencoba membuatku menyerah?”
“Hahaa,, See? Kau ketakutan!” dia tertawa tanpa rasa bersalah.
“Ti-tidak..”
“Kau selalu berburuk sangka ketika takut!”
“A-aku hanya.......”
“Bukan masalah menyerah atau tetap bertahan. Tapi dirimu! Dengan semua yang sudah kau korbankan! Semua kesempatan yang kau lepaskan! Semua sakit yang kau tanggung, dan juga kau tularkan ke orang-orang disekitarmu, apa kau bahagia?”
Aku tercekat, lagi-lagi. Rasanya sakit mendengar semua kebenaran itu. “Kau tau aku benci diceramahi!” ujarku datar – akhirnya.
“Well... Berburuk sangka lagi!” dia tersenyum – mengejek.
“Aku bilang aku tidak..........”
“Aku hanya tidak bisa melihatmu lebih sakit lagi!” ujarnya lemah. Aku menangkap kelelahan dalam suaranya.
“Kau bisa pergi kalau begitu!” entah apa yang ada di pikiranku sehingga kalimat ini yang akhirnya keluar dari mulutku.
“......... Hahahaaa...” dia terdiam sejenak sebelum akhirnya tertawa keras. “Sekarang kau yang mencoba membuatku menyerah! Hahaaa...” dia menggulung lengan kemejanya dan mulai berbaring diatas rerumputan dibawahnya. “Waahh. Cuaca yang bagus! Apa kita harus berkebun?” tanyanya riang sambil merengganggkan badan.
Aku tersenyum, paham. “Sounds good!”


Kamar kehidupan, March 07th 2015
Terkadang, ada kata yang tidak perlu diucapkan. Ada persoalan yang tidak harus dibahas. Ada masalah yang tidak butuh penyelesaian. Semua yang dibutuhkan adalah seorang sahabat untuk mengerti, tidak banyak bertanya dan tidak pernah meninggalkan. For staying here, thanks!


Friday, August 21, 2015

Hi blog, how're you doin'?


Bismillah....

Sudah lama sejak terakhir nulis di blog (terakhir nulis September, 2014, hampir setaun). Bahkan sempat lupa pernah punya. Heee,,, blog ini aku buat taun 2010 lalu. Sampai saat ini sudah ada 67 postingan gaje. Ya, semua gag jelas. Tanpa maksud, hanya sebatas nulis buat curhat. Meski ada beberapa yang kurasa cukup bermanfaat, seperti asuhan keperawatan maupun makalah keperawatan yang kubuat pas kuliah.

Kalau kulihat statisik postinganku, maka dua tahun ini adalah tahun-tahun tidak produktif dalam karir menulisku (jiaahh.. untuk menyenangkan hatiku, anggap saja aku punya karir dibidang ini ^^) Penyebabnya? Apa lagi kalau bukan profesi. Ya, terhitung September 2013 – Juli 2014 aku sibuk melengkapi penderitaanku sebagai seorang perawat – menyelesaikan praktik profesi. Jangan ditanya sibuknya seperti apa. Yang jelas cukup untuk membuat migrain dan maag-ku kambuh setiap hari, cukup untuk membuat waktu tidurku terpangkas menjadi 3 – 4 jam, bahkan hanya 20 menit semalam (alhamdulillah). Dan cukup untuk membuatku dirawat 5 hari dan pulang tanpa ridho dokter (pulang atas permintaan sendiri) di stase terakhir praktik profesi. Ya, lumayanlaahh! Dan selama rentang waktu itu, aku hanya menulis 4 postingan di blog. Plok plok..