Menyerahlah! Bebaskan dirimu!

Sunday, May 22, 2016

Menyerahlah! Bebaskan dirimu!



Sesuatu pasti telah terjadi, punggungnya bergetar. Aku mendekat, memastikan keadaannya, namun dia mendadak membalikkan badan - kearahku - membuatku menghentikan langkah, yang hanya tinggal tiga langkah dari tempatnya.
"Bisakah kau memelukku?" tanyanya setelah diam sejenak, mungkin terkejut dengan keberadaanku dihadapannya. Airmata tergenang dikedua kelopak matanya.
Aku menghela napas dalam dan berat, seperti biasa, dadaku mendadak sempit melihatnya begini. "Kemarilah!" balasku sambil mendekat.

"Aku tak akan memintamu berhenti, karena kau tak akan melakukannya!  Tapi kumohon......"
"Tidak! Kali ini aku akan berhenti! Benar-benar berhenti!" dia menganggukkan kepala, meyakinkan dirinya sendiri, sementara airmatanya kembali menggenang.
"Sudahlah! Kau tak perlu memaksakan diri begitu! Aku tau seberapa pentingnya dia untukmu, dan kau tak akan bisa berhenti berjuang untuknya!" Aku sudah sangat hapal drama hidupnya. Berkorban, tak dianggap, bersedih hati, berkorban lebih banyak lagi untuk kemudian kembali tidak dihargai. Bersedih hati lagi. Selalu pola yang sama. Terulang sepanjang waktu selama beberapa tahun terakhir.
"Kali ini aku sungguh-sungguh!" suaranya tercekat, genangan dimatanya hampir tumpah. See? Dia tak akan mampu. "Aku,,,, aku,,, sudah sangat lelah!" genangan itu mengalir turun, membuat wajahnya kembali basah. Aku menyodorkan tisu. "A,,, a,, ku lelah!" ujarnya disela bahu yang berguncang. Lelah? Akhirnya kata ini keluar juga dari mulutnya setelah bertahun-tahun. Biasanya aku yang selalu bertanya 'Apa kau tidak lelah? Hentikanlah!' Dan tentu saja tidak pernah dihiraukannya. "A,, aku,, aku tak sanggup lagi!" tangisnya makin menjadi. Aku tau, dia menangisi kalimatnya barusan - kalimat yang terdengar menyedihkan. Aku membuang muka sambil menghembuskan napas panjang. Kenapa aku harus selalu melihatnya begini? Hancur dan kesakitan? Kubiarkan dia kembali menangis. Tak ada yang bisa kulakukan untuk menghentikannya, toh tisuku juga sudah habis.

"Apa mataku bengkak?" tanyanya dengan tangan masih sibuk menghapus sisa-sisa tangis diwajahnya.
"Ya!" jawabku jujur.
Dia tersenyum, terlalu dipaksakan. Dia memperbaiki duduknya, menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan. "Kali ini aku benar-benar tidak akan peduli lagi. Sungguh! Aku hanya akan memberikan perhatianku untuk mereka yang juga memperhatikanku. Aku hanya akan berjuang untuk mereka yang juga berjuang untukku. Berkorban untuk mereka yang juga berkorban untukku. Sakit untuk mereka yang juga mau sakit untukku! Sungguh!" Kepalanya mengangguk yakin dengan bola mata yang membesar.
"Kau,,, kau yakin?" tanyaku ragu.
"Sudah kuduga kau akan meragukanku. Aku hanya....."
"Maksudku, kau tidak perlu memaksakan diri begitu! Tidak perlu membuat pernyataan apa-apa! Baik kau maupun aku sama-sama tau kelanjutannya!"
"Percaya padaku! Kali ini aku serius! Sungguh! Aku tidak akan menyiksa diriku lagi! Dia hidup dengan kacau, masa depannya hancur, dia mengambil jalan yang salah, aku tak peduli lagi. Kurasa yang kulakukan selama ini sudah lebih dari cukup. Toh pada dasarnya aku tidak punya tanggung jawab atas hidupnya. Dan aku tak perlu berbaik hati lagi mengorbankan kebahagiaanku untuknya!" dia tersenyum.
"Kurasa aku pernah mendengar itu sebelumnya!" ujarku tertawa. Ya, itu kalimatku. Kalimat yang selalu kutujukan padanya setiap kali dia menangis dan disakiti.
"Benarkah? Aku mendapatkannya dari seorang idiot jelek!" dia tertawa. Apa? Tertawa?
Kuamati ekspresinya, mencari kebohongan dan keterpaksaan disana. "Apa kita harus nonton film sedih sekarang?" kurasa dia jujur kali ini.
"Eh??"
"Agar kau bisa menangis sepuasnya!" jawabku mengangkat bahu.
"Ckk..." dia berdecak, berlagak kesal. "Kau pikir aku serapuh itu? Ck... Traktir aku kopi!" perintahnya dengan tangan terlipat didada.
"Kopi? Apa hubungannya?"
"Ckk.. Benar-benar idiot!" Dia berdiri, melangkah menuju jalanan. "Aku harus memastikan, kalau yang pahit itu tidak selalu buruk!"
Aku bangkit untuk menyusulnya. "Kau tak akan menyesali keputusanmu!"


Home, 17.01.16

0 comments :