Menyerahlah! Bebaskan dirimu!
Sesuatu pasti telah terjadi, punggungnya bergetar. Aku mendekat, memastikan keadaannya, namun dia mendadak membalikkan badan - kearahku - membuatku menghentikan langkah, yang hanya tinggal tiga langkah dari tempatnya.
"Bisakah kau
memelukku?"
tanyanya setelah diam sejenak, mungkin terkejut dengan keberadaanku
dihadapannya. Airmata tergenang dikedua kelopak matanya.
Aku
menghela napas dalam dan berat, seperti biasa, dadaku mendadak sempit
melihatnya begini. "Kemarilah!"
balasku sambil mendekat.
"Aku tak akan
memintamu berhenti, karena kau tak akan melakukannya! Tapi kumohon......"
"Tidak! Kali ini aku
akan berhenti! Benar-benar berhenti!" dia menganggukkan kepala,
meyakinkan dirinya sendiri, sementara airmatanya kembali menggenang.
"Sudahlah! Kau tak
perlu memaksakan diri begitu! Aku tau seberapa pentingnya dia untukmu, dan kau
tak akan bisa berhenti berjuang untuknya!" Aku sudah sangat hapal drama
hidupnya. Berkorban, tak dianggap, bersedih hati, berkorban lebih banyak lagi
untuk kemudian kembali tidak dihargai. Bersedih hati lagi. Selalu pola yang
sama. Terulang sepanjang waktu selama beberapa tahun terakhir.
"Kali ini aku
sungguh-sungguh!"
suaranya tercekat, genangan dimatanya hampir tumpah. See? Dia tak akan mampu. "Aku,,,,
aku,,, sudah sangat lelah!" genangan itu mengalir turun, membuat
wajahnya kembali basah. Aku menyodorkan tisu. "A,,, a,, ku lelah!" ujarnya disela bahu yang berguncang.
Lelah? Akhirnya kata ini keluar juga dari mulutnya setelah bertahun-tahun.
Biasanya aku yang selalu bertanya 'Apa
kau tidak lelah? Hentikanlah!' Dan tentu saja tidak pernah dihiraukannya. "A,, aku,, aku tak sanggup lagi!"
tangisnya makin menjadi. Aku tau, dia menangisi kalimatnya barusan - kalimat
yang terdengar menyedihkan. Aku membuang muka sambil menghembuskan napas
panjang. Kenapa aku harus selalu melihatnya begini? Hancur dan kesakitan? Kubiarkan dia kembali
menangis. Tak ada yang bisa kulakukan untuk menghentikannya, toh tisuku juga
sudah habis.
"Apa mataku
bengkak?"
tanyanya dengan tangan masih sibuk menghapus sisa-sisa tangis diwajahnya.
"Ya!" jawabku jujur.
Dia
tersenyum, terlalu dipaksakan. Dia memperbaiki duduknya, menarik napas dalam
dan menghembuskannya perlahan. "Kali
ini aku benar-benar tidak akan peduli lagi. Sungguh! Aku hanya akan memberikan
perhatianku untuk mereka yang juga memperhatikanku. Aku hanya akan berjuang
untuk mereka yang juga berjuang untukku. Berkorban untuk mereka yang juga
berkorban untukku. Sakit untuk mereka yang juga mau sakit untukku!
Sungguh!" Kepalanya mengangguk yakin dengan bola mata yang membesar.
"Kau,,, kau
yakin?"
tanyaku ragu.
"Sudah kuduga kau akan
meragukanku. Aku hanya....."
"Maksudku, kau tidak
perlu memaksakan diri begitu! Tidak perlu membuat pernyataan apa-apa! Baik kau
maupun aku sama-sama tau kelanjutannya!"
"Percaya padaku!
Kali ini aku serius! Sungguh! Aku tidak akan menyiksa diriku lagi! Dia hidup
dengan kacau, masa depannya hancur, dia mengambil jalan yang salah, aku tak
peduli lagi. Kurasa yang kulakukan selama ini sudah lebih dari cukup. Toh pada
dasarnya aku tidak punya tanggung jawab atas hidupnya. Dan aku tak perlu
berbaik hati lagi mengorbankan kebahagiaanku untuknya!" dia tersenyum.
"Kurasa aku pernah
mendengar itu sebelumnya!" ujarku tertawa. Ya, itu kalimatku. Kalimat yang selalu
kutujukan padanya setiap kali dia menangis dan disakiti.
"Benarkah? Aku
mendapatkannya dari seorang idiot jelek!" dia tertawa. Apa? Tertawa?
Kuamati
ekspresinya, mencari kebohongan dan keterpaksaan disana. "Apa kita harus nonton film sedih sekarang?" kurasa dia
jujur kali ini.
"Eh??"
"Agar kau bisa
menangis sepuasnya!"
jawabku mengangkat bahu.
"Ckk..." dia berdecak, berlagak
kesal. "Kau pikir aku serapuh itu?
Ck... Traktir aku kopi!" perintahnya dengan tangan terlipat didada.
"Kopi? Apa
hubungannya?"
"Ckk.. Benar-benar
idiot!"
Dia berdiri, melangkah menuju jalanan. "Aku
harus memastikan, kalau yang pahit itu tidak selalu buruk!"
Aku
bangkit untuk menyusulnya. "Kau tak
akan menyesali keputusanmu!"
Home, 17.01.16
0 comments :
Post a Comment