Akhirnya ke kamu juga....
Mestinya kau disini. Melihat diriku
sekarang. Kau tau? Banyak perubahan dalam hidupku. Banyak hal terjadi. Banyak
hal berhasil kuraih, beberapa hal berat terlewati dengan sempurna. Bukan aku
bangga pada diriku – walaupun mungkin itu perlu – tapi hanya benar-benar
berharap kau disini. Dulu, kau disini disaat susahku. Saat aku berteriak “Bunuh
saja aku!” Waktu itu aku sungguh kekanak-kanakan bukan? Memalukan sekali!
Umm, kau ingat beberapa waktu lalu?
Dalam sebuah tulisan aku mengatakan bahwa itu adalah kali terakhir aku menulis
tentangmu. Waktu itu aku merasa sedang lebih baik, dan kupikir akan berhasil.
Ya, untuk kesekian kalinya, janji pada diri sendiri adalah hal tersulit untuk
kutepati. Aku tetap akan menulis tentangmu.
Ayolah, aku bukan sedang bersedih.
Hanya butuh teman cerita saja. Apa? Aku tak punya teman? Jangan becanda! Tentu
saja aku punya. Beberapa bahkan cukup dekat. Tapi kadang, rasanya kadang mereka
terlalu mengintervensi hidupku. Ya, beberapa mulai membentukku menjadi
keinginan mereka. Beberapa memarahiku kenapa tidak bisa menjadi pribadi yang
mereka inginkan. Beberapa mengamuk ketika aku diam saja – memendam masalahku
sendiri, tapi langsung menatapku sinis ketika aku baru mulai membuka mulut –
untuk bercerita. Beberapa datang padaku dengan segunung keluhan, dengan ‘aku
sedang memikul masalah paling berat di bumi’. Aku menangis dalam hati, masalah
mereka tampak sangat berat, mereka bahkan tak sempat menanyakan apa aku punya
waktu mendengar cerita mereka, alih-alih bertanya apa aku punya masalah.
Beberapa menelponku, bercerita panjang lebar bagaimana mereka menemukan dan
menangkap seekor tikus yang memasuki kamarnya. Lalu menutup telfon sejam
kemudian tanpa sempat bertanya ‘apa kabarmu teman?’ Lucu bukan? Bukan apa,
hanya saja – andai mereka mau sedikit bertanya, meluangkan waktu tiga puluh
detik untuk mendengar. Mungkin mereka akan mendengar seorang perempuan muda
baru saja selamat dari maut. Baru saja diserang (dan menyerang) maling yang
menyusup di garase, dan baru saja menyelesaikan laporannya ke kantor kepolisian
sepuluh menit sebelum menerima telfon. Lihat! Sepertinya mereka melewatkan
beberapa hal besar, bukan?
Kadang aku merasa jahat, ketika
mereka bercerita dengan menggebu-gebu, pikiranku malah melayang-layang. Ya, aku
sedang berusaha menahan sesak didadaku, sedang mengatur napasku agar tampak
biasa. Aku (terlihat) menyimak dengan khidmat, bersabar menunggu mereka selesai
untuk ‘inilah kesempatanku’. Tapi kau tau? Itu hampir tidak pernah terjadi. Aku
seperti menunggu kisah cinta Jack dan Rose berakhir bahagia. Semua orang tau
itu tak akan terjadi.
Ada yang paham – tentu saja. Mereka
bahkan sudah seperti bayanganku saja. Mengetahui semua hal tentangku – maksudku
yang aku perbolehkan mereka untuk tahu. Ada juga yang paham bahkan sebelum aku
bercerita. Tapi tetap saja, aku ingin bercerita. Tak cukup dengan “Tenangkan dirimu! Aku mengerti perasaanmu!”
Apa aku tampak sangat menyedihkan
sekarang? Kalaupun iya, katakanlah tidak. Aku hanya sedang ingin mendengar yang
baik saja.
Aku ingat ketika kau menceramahiku
tentang teman SMA-ku dulu. “Tentu saja
teman harus dipilih! Bagaimana mungkin kau berteman dengan semua orang? Jangan
berteman dengan mereka yang akan merubahmu jadi seperti apa yang mereka
inginkan. Kau temannya! Bukan bonekanya!” Begitu kira-kira pituahmu ketika
itu. Sejak saat itu aku mulai menyeleksi teman-temanku. Dan akan menjauh ketika
merasa menjadi boneka.
Oiya, hampir lupa. Beberapa waktu
lalu adikmu menghubungiku. Aku heran kenapa dia sering menelponku sekarang. Kau
tau, kalian memiliki kesamaan, sama-sama menjengkelkan dan selalu bisa
membuatku tertawa sampai menangis. Bagaimana mungkin dia mengatakan aku tidak
perlu lagi melamar pekerjaan ke rumah sakit. Aku cukup memfokuskan diri merawat
lukaku saja. Jiahh, aku rasa skripsi benar-benar telah mengurangi massa
otaknya. Satu lagi, dia memintaku datang ke kontrakannya. Tak usah kaget, aku
sudah melakukannya – untukmu sekalian. Bagaimana mungkin seorang laki-laki
dengan massa otak yang sudah berkurang mengundang perempuan terhormat
mengunjungi kontrakannya? Benar-benar gila! Tapi kukatakan aku akan datang –
untuk melemparkannya ke samudra Hindia.
Tapi jujur, dirinya sekarang juga
sudah banyak berubah. Kalau kau disini, kau pasti bangga padanya. Lebaran
kemarin ibumu mengatakan “Allah tak akan
menyia-nyiakan perasaan seorang ibu, nak! Satu hilang, yang satu menggantikan!”
Aku kurang setuju dengan ibumu, bagaimana mungkin dia membandingkan dirimu
dengan laki-laki yang otaknya sudah menyusut itu? Namun, aku cukup kaget ketika
ibumu mengatakan “Dia sudah bertanggung
jawab sekarang!” Aku dengan jeniusnya berpikir bahwa anak yang otaknya
sudah menyusut itu sudah menghamili anak orang. Ibumu tertawa sampai menangis
mendengarnya. “Bukan, dia sekarang sudah
bisa membiayai kuliahnya sendiri!” What?
Aku excited! Bagaimana mungkin anak
manja yang hanya tau menyusahkan itu membiayai kuliahnya sendiri? Belakangan
kutahu dia melakukannya dengan menjual chevrolet tua ayahmu. Aku mengerti
sekarang, dan anehnya aku tidak terkejut!
Kau, apa kabarmu sekarang? Selalu
berharap kau baik-baik saja. Mesti lebih baik dari kabarku hari ini. Aku selalu
mendo’akanmu by the way. Ya, hari itu
kau melakukannya untukku. Sekarang dan seterusnya aku akan melakukannya
untukmu.
Menulis seperti ini, percayalah tak
ada hubungannya dengan move on-ku yang gagal. Aku hanya ingin
menulis dengan nyaman. Dan aku merasa nyaman ketika bercerita seperti ini.
Untuk saat ini, biarlah kembali seperti ini. Mengenai dirimu? Bukankah kita
sudah berdamai? Ya, aku sudah berdamai dengan beberapa kenyataan dalam hidupku
– termasuk kenyataan bahwa aku alergi plester. Setidaknya itu bukan penyakit
mematikan, bukan?
Sekarang biarkanlah seperti ini
(lagi). Aku akan tetap bercerita padamu – jika dibutuhkan. Seperti dulu,
sekarangpun kau masih kopingku yang paling adaptif.
Kamar kehidupan, September 21th 2014
@ 01.11 am
Lagi-lagi menulis tengah malam.
0 comments :
Post a Comment