Monday, October 05, 2020

Buat loe, si keras kepala (oleh Rizky Abdillah 2015)


Hai, gue cukup terkejut ketika bangun menemukan email dari loe siang ini. Ya, gue bangun siang. Loe tau, insomnia gue kambuh lagi. Gue rasa gue terlalu banyak mengkonsumsi kafein akhir-akhir ini. Loe bisa menyalahkan bos gue yang memberikan tumpukan pekerjaan dua kali lipat pekerjaan gue biasa sebagai hukuman seminggu liburan ke Eropa akhir tahun lalu. Loe tau, gue hanya berlibur, di hari libur, bukan melakukan kesalahan. Maksud gue, bukan salah gue ketika akhirnya saat itu perusahaan mendapatkan proyek dadakan besar, yang membuat semua orang – yang belum sempat meninggalkan Nagasaki – harus lembur, bahkan di malam tahun baru. Gue cukup beruntung, bukan? Setidaknya gue tidak terjebak di kantor yang pengap – dengan secangkir kopi yang bahkan langsung dingin di menit kedua setelah dibuat, dengan pemanas ruangan yang tetap saja membuat ruangan sedingin freezer – disaat semua orang bersuka cita menikmati pergantian tahun. Ya, gue rasa ini keberuntungan pertama gue di tahun ini. Tapi tetap saja gue tidak melakukan kesalahan apapun, bukan? Huh, gue sungguh kesal. Biar gue katakan, orang Jepang sungguh menyebalkan soal pekerjaan.

Tapi bukan ini inti cerita gue kali ini. Ini tentang email loe. Bisa dihitung dengan jari berapa kali loe mengirim email kepada gue. Ya, hanya dua kali, bahkan sebenarnya gue tak membutuhkan jari untuk ini. Email pertama loe adalah tahun lalu, ketika loe mengirimkan hasil terjemahan loe. Ingat? Tapi kali ini email loe jauh berbeda. Tidak seperti email pertama yang bahkan tanpa subjek – ya loe hanya mengirim 1 file attachment – tanpa apa-apa lagi di badan email. Tidakkah loe pikir ini keterlaluan? Maksud gue, email adalah e-mail, electonic mail. Loe tau mail artinya apa, bukan? Ya, loe benar – surat! Bagaimana mungkin loe mengirim surat tanpa menanyakan kabar, bahkan tanpa salam? Aishh, keterlaluan. Tapi kali ini seolah membayar kelemahan email pertama loe, loe bahkan bercerita tentang hidup loe. Manis sekali.

Jadi gue menyempatkan menulis balasan untuk loe sore ini. Ya, sebenarnya tadi gue ingin langsung membalasnya – bahkan tanpa gosok gigi. Tapi lagi-lagi bos gue mengacaukan hidup gue dengan menagih hasil kerja gue – yang deadlinenya dua hari lagi – hari ini? Untung gue hampir menyelesaikannya tadi malam. Loe tau, gue bukanlah tipe penunda pekerjaan - kaya loe.

Mm,, darimana harus memulainya. Ah, dari sini saja - gue setuju dengan loe! Ya, walaupun sebenarnya loe tidak meminta persetujuan gue – karena beberapa detik setelah menerima email loe, gue mendadak kehilangan nama loe di kontak bbm gue, begitupun jejaring sosial yang lain, dengan kata lain loe memutuskan komunikasi secara sepihak, seperti biasa – tapi gue mau menegaskan gue setuju. Maksud gue untuk bagian ‘Mari berkomunikasi melalui email saja!’ Ya, gue rasa ini cukup bagus. Mungkin loe tidak menyadarinya, tapi gue sadar (seperti biasa), ini adalah persetujuan kita yang pertama. Plok plok.. Harusnya kita merayakannya dengan minum kopi bersama di sebuah cafe di suatu sore yang cerah.
Gue rasa ini tidak terlalu buruk juga. Ini benar-benar seperti hubungan jarak jauh seperti yang biasa gue baca di novel romantis. Ya, loe boleh menertawakan gue – seperti biasa. Kenyataannya hati gue lebih lembut dari hati loe. Dan setidaknya gue bukan seperti bocah sepuluh tahun yang menggandrungi komik – disaat kenyataannya loe berumur dua puluhan. Ya, gue tidak seperti itu! Gue lebih dewasa dan berkelas!

Minggu lalu bokap gue sudah menghubungi loe, bukan? Akhirnya bokap melapor ke gue sambil bilang ‘Dia sepertinya menolak Ky! Sepertinya dia tidak menyukai kamu!’ Gue hanya bisa tertawa terbahak-bahak. Hahaha. Tapi gue merasa tidak begitu. Loe hanya ingin gue tidak terlalu dekat, bukan? Gue rasa seperti itu.

Bbm yang puluhan kali loe delcont, lalu dengan sabar gue invite kembali. Gue ga tau entah berapa puluh kali loe melakukan ini ke gue. Terakhir gue menghitung sampai 18 kali. 18 kali dalam 2 bulan. Setelah itu gue tidak sanggup lagi menghitungnya. Gue ga tau apa yang ada dipikiran gue ketika gue menginvite loe lagi dan lagi. Bahkan ketika gue tidak bisa menemukan nama loe di kontak gue, gue hanya akan berdecak ‘Yah didelcont lagi!’ Katakan gue bodoh karena tanpa alasan gue menerima dengan lapang dada setiap kali loe melakukan hal itu. Atau ketika bbm gue hanya loe ‘read’ doang. Pesan gue di fb hanya loe ‘seen’ doang. Cerita gue panjang-panjang ga loe respon. Dan gue tetap saja sabar dan tak tahu diri. Kembali bercerita beberapa jam berikutnya. Atau ketika loe dengan sengaja mereject telpon gue. Benar, loe ga minta di telpon (kalau ini terjadi, maka kiamatlah dunia. Gue menambahkan ini kedalam tanda-tanda kiamat besar). Gue yang selalu dengan gigih tanpa tahu malu menghubungi loe lagi dan lagi. Direject puluhan kali, gue akan dengan sabar mengulangnya. Sampai loe dengan kesal menjawab telpon gue. Gue kesel? Marah? Mungkin. Tapi harapan gue mengalahkan semuanya.

Gue juga sudah pernah menjatuhkan harga diri gue sebagai laki-laki dihadapan loe sebelumnya. Menjatuhkannya sejatuh-jatuhnya. Dan semakin jatuh ketika loe hanya bilang ‘ngantuk gue dengernya’. Ya, sempurna hancurnya. Setelah menulis ini gue sadar kalo loe selalu berhasil menghancurkan hati gue. Setiap hari. Lagi dan lagi. Tapi gue tetep bodoh dan ga tahu diri. Gue selalu mengatakan loe bodoh. Padahal gue juga ga yakin siapa sebenarnya yang lebih bodoh.

Dari semua perlakuan kejam dan sadis itu, gue tau loe masih punya semacam hati. Gue tau loe susah payah menjelaskan ke kakak gue, bahwa gue ga seburuk yang dia pikirkan. Gue juga tau loe ikut banting tulang membantu penelitian adik gue. Hanya karena dia marah ke gue karena gue sama sekali ga bisa membantunya. Ketika’ dia marah ke gue, loe juga berperan menyelamatkan nama baik gue. Ketika gue seminggu ga mengganggu loe, loe datang dengan ‘Loe kenapa? Sakit?’ walaupun setelahnya loe mati-matian bilang bahwa hidup loe seminggu itu sangat aman dan damai, gue tetep tau loe semacam kangen sama gue. Hahaha. Atau ketika loe mengirimkan gambar ‘Fighting, you can do it!’ di hari ‘itu’. Gue merasa hidup gue akan sedikit lebih lama. Hahaha.

Jadi, mulai sekarang ayo kita hidup dengan lebih baik. Mari saling memperhatikan dan menyakiti satu sama lain. Yang terakhir mungkin hanya akan terjadi sama gue saja. Gue cukup sakit ketika mendadak loe bbm gue dan bilang ‘Kik, gue jatuh cinta!’ terdengar begitu bahagia. Dan hari itu mood loe sangat bagus. Gue terus menerus mengganggu loe dan loe sama sekali ga keganggu. Gue pikir mood seperti itu hanya akan datang saat loe dapat tiket gratis sebulan keliling Eropa.

Ayo bersikap biasa, layaknya seorang teman baik. Gue akan menghubungi loe melalui email, seperti yang loe inginkan. Yang akan gue mulai minggu depan. Hahaha.
Ayo berkomunikasi seperti seorang sahabat karib. Yang mendadak bilang ‘Gue kangen’, atau ‘Gue kesel hari ini!’ Ayo hidup seperti itu. Dua tahun itu bukan waktu yang lama. Dan sebelum itu, loe lakukan apapun yang loe mau. Loe hanya harus tau gue selalu ada buat mendengar keluh kesah loe. Semua umpatan dan makian loe. Semua teriakan putus asa dan juga tangisan loe. Semua mimpi loe itu, gue juga berusaha untuk itu. Perlakukan gue seburuk apapun yang loe mau. Karena setelah itu, giliran gue melakukan hal yang sama. Hahaha.


Nagasaki, 01 Februari 2015.
Untuk seseorang keras kepala diluar sana yang bahkan sanggup menolak bapak gue. Salut buat loe. Plok plok plok.

Missing you (oleh Rizky Abdillah 2015)


"Gue bener-bener berharap loe disini!" itulah pesan terakhir yang gue kirim lewat inbox dia kemaren. Dibaca tapi ga dibalas. Sangat biasa sebenernya. Dia sering banget kaya gitu. Mengabaikan anak orang seenak jidatnya. Mendiamkan pesan sampai berhari-hari lalu mendadak muncul sambil teriak-teriak. Itu sangat biasa jika kau mengenalnya. Tapi hari ini sepertinya berbeda. Gue punya feeling dia ga akan menjawab pesan-pesan gue lagi.

Apa yang ada di pikiranmu melihat lelaki lajang, masih dua puluhan bekerja disebuah perusahaan bonafit di Jepang? Lalu lelaki yang sama yang menghabiskan 3 bulan di 3 benua. Amazing bukan? Lelaki jenius ini tentunya luar biasa keren dan pinter. Tapi hampir tak ada nilainya dimatanya. Entah lelaki yang bagaimana yang bisa menarik perhatiannya.

 

Melalui tulisan ini gue hanya berharap dia bisa sedikit serius. Menanggapi keseriusan gue dengan keseriusan juga. Bukan dengan "Loe gila? Loe lupa lagi ya minum obat? Loe udah bangun belom?"

 

Berkelana sendiri di negeri orang. Maksud gue mungkin gue merasa sendiri, toh kenyataannya gue sama temen-temen. Liburan akhir taun yang berlanjut liburan awal taun. Rasanya nyaris tidak membekas. Ketika semua yang gue lihat hanya mengingatkan gue pada perempuan keras kepala itu. Ya dia suka salju-tanpa peduli rematiknya. Mungkin dia lupa bahkan di kampungnya saja dia pake kaus kaki di siang bolong lengkap dengan jaket sekian lapis. Dia suka kembang api. Dia suka duduk di luar menghabiskan waktu melihat bintang, bicara sendiri menatap langit, sesekali mendengus sesekali mengeluh. Ah perempuan ini, gue bener-bener sudah gila.

 

Hai perempuan keras kepala diseberang sana, katakan pada gue harus bagaimana lagi. Katakan lelaki seperti apa yang loe inginkan disisi loe. Bisakah sedikit saja loe menutup mata akan tipe ideal loe dan hanya melihat gue doang? Bisakah loe berenti anggap gue temen masa kecil loe yang cengeng?

 

Hai perempuan kucel diseberang benua, katakan pada gue persyaratan loe. Kenapa gue ga bisa? Bahkan loe ga pernah denger cerita gue sampai tuntas. Kenapa selalu loe potong dengan "Udah ah loe kebanyakan nonton drama korea!"

 

Gue bener-bener berharap loe disini. Mendengar cerita gue. Menyaksikan keajaiban demi keajaiban menghampiri hidup gue. Duduk membahas masa depan yang terlihat sangat samar sambil tertawa terbahak-bahak. Gue selalu merindukan celetukan spontan loe yang sering membuat gue berpikir sejenak. Gue juga merindukan saat ketika loe mengepalkan tangan sekuat tenaga sambil teriak "Fighting!"

Hal yang biasa bukan? Oke, loe bisa anggap gue udah gila. Loe juga bisa pikir gue belum bangun. Loe juga silakan anggap gue belum minum obat.

 

Loe tau apa resolusi 2015 gue? Bukan dapat gaji lebih gede. Bukan lagi keliling Eropa. Atau menjelajah Afrika. Bukan pula melakukan pendakian ke Himalaya. Gue hanya berharap bisa ke tanah air. Ketemu loe. Duduk sejenak bareng loe sambil nyeruput kopi dingin.

 

 

Missing you

Edinburgh, Scotland - 03.01.15

Untukmu saja (oleh Rizky Abdillah 2014)


Kau meragukan kemampuanku? Sial!

 

Kau pikir kau siapa? Bisa melakukan segala hal? Oke mungkin begitu kebenarannya. Maksudku kau memang hampir selalu bisa melakukan segala hal, termasuk meragukan kemampuan menulisku. Sialan!

 

Walaupun aku suka bicara sembarangan. Mengetik sms tanpa pernah memperhatikan EYD (memangnya kau memperhatikan?), tapi kau tidak bisa meragukan kemampuan menulisku. Aku sebenarnya tidak enak mengatakannya, karena akan membuat orang berpikir aku sombong atau pamer, tapi mau tidak mau aku harus mengatakannya-bahwa aku pernah ikut sekolah menulis (walaupun online), pernah ikut lomba menulis (walaupun belum beruntung untuk menang), pernah ikut pelatihan jurnalis, dan sampai sekarang masih aktif sebagai anggota sebuah forum lingkar pena. Maksudku, jangan mudah meragukan kemampuanku.

 

Um, Tidak ada topik menarik yang bisa kutulis dengan semakin menarik pagi ini. Kopiku bahkan sudah dingin-menunggu munculnya ide fantastis-dan entah kenapa aku semakin menyukainya. Oke, tertawalah sepuasmu! Aku bodoh bukan? Barangkali begitu! Tapi hei aku jauh lebih pintar dari perempuan muda yang menggemari ampas kopi ayahnya. Saatnya untuk kau mengumpatku, bodoh!

 

Apakah aku boleh bercerita tentangmu? Kurasa boleh saja! Kalau kau marah terserah kau saja. Seperti kau tak pernah marah saja. Bukankah baru minggu lalu kau mengamuk membabi buta, bahkan berbicara dibalik gigi yang terkatup rapat padaku? Oke, aku takut waktu itu! Maksudku bertanya-tanya apa memang sebesar itu kesalahanku? Apa pantas mendapat amukan semengerikan itu? Oke tidak perlu diungkit lagi, tidak bagus untuk masa depan kita berdua!

 

Kapan aku mengenalmu? Mungkin usia empat tahun? Atau lima tahun? Mungkin juga enam tahun? Ah aku lupa tepatnya, lagipula itu tidak penting. Bagian pentingnya adalah aku melewatkan tumbuh bersamamu. Maksudku, akan menyenangkan menghabiskan tahun bersamamu. Aku yakin kau melewati masa kecilmu dengan sangat memuaskan. Apakah kau ingat bagaimana kau mengajariku memanjat pohon cokelat di kebun ujung kampung? Kau tampak keren sekali ketika sedang memanjat. Maksudku, ketika menoleh kiri kanan mencari pijakan yang kokoh lalu langsung mendarat ke tanah karena tidak ada pijakan yang meyakinkan. Kadang kau mendarat dengan mulus dan aku akan berdecak kagum sambil bertepuk tangan. Namun kadang kau mendarat dengan ‘kurang beruntung’. Lutut berdarah ataupun pergelangan kaki terkilir, dan aku akan tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perutku. Aku selalu saja ingat ekspresi melototmu dan ancaman yang membuatku keder ‘Tak usah kita berkawan lagi’. Tidakkah kau pikir kau sudah punya jiwa mafia sejak belasan tahun lalu?

 

Omong-omong sudah berapa lama kita terpisah? Kalau aku tidak salah hitung mungkin ada 18 tahun. Waaah, bukankah ini mengagumkan? Maksudku, luar biasa karena kita berjumpa lagi tahun ini. Oke kau mungkin akan mendebatku kalau aku bilang selama itu. Tapi aku sungguh tidak merasa pertemuan kita lima tahun lalu adalah pertemuan. Ayolah itu hanya beberapa jam. Dan baik aku maupun (apalagi) kau sama sekali tidak menyadari keberadaan masing-masing. Aku benar-benar syok dan merasa bodoh ketika Om  mengatakan bahwa kau dari Payakumbuh – sesaat setelah kau kembali ke Jakarta. Sialan! Mestinya aku bersikap sedikit ramah padamu. Salahkan dirimu yang juga bersikap tak mau tahu urusan sekelilingmu. Seharusnya kau menanyakan asal usulku bukan? Atau minimal tepe-tepe di depanku. Bukankah itu yang biasa dilakukan perempuan muda dihadapan lelaki muda keren dan berkharisma sepertiku? Tapi yang kau lakukan hanya bolak-balik ke dapur bersama tuan rumah (ayolah kau itu tamu) dan sibuk minta diantar keliling Bandung di subuh buta, bahkan ketika aku belum sholat subuh. Oke, kau tidak minta aku yang mengantar. Kau juga tidak merengek kepadaku, tapi suaramu sangat mengganggu pagi dinginku.

 

Oiya, hampir saja lupa, mestinya kutanyakan sejak awal, tapi aku sungguh lupa. Selayaknya sahabat lama, aku akan menanyakannya. Bagaimana kabarmu?

 

Kalau kulihat dirimu sekarang mungkin kabarmu baik-baik saja. Dan aku benci mengetahuinya. Maksudku, aku benci ketika kau bisa hidup dengan baik tanpa diriku. Oke, hilangkan wajah ‘kau pikir kau siapa?’ itu dari wajah bodohmu. Oke, mungkin memang aku bukan siapa-siapa, tapi setidaknya dulu kau menangis ketika aku pergi. Sebentar! Jangan katakan waktu itu kau menangis karena aku menyembunyikan sendalmu di salah satu cabang pohon sawo depan rumahmu itu? Bukan seperti itu, bukan? Baiklah, kuputuskan kau menangisiku waktu itu, bukan sendalmu.

 

Kudengar kau sekarang jadi perawat ya? Aku sampai syok mendengarnya. Tak terbayangkan kau melayani orang-orang dengan lemah lembut dan penuh kasih. Kau itu lebih cocok jadi ranger merah. Bukankah dulu kau sering melompat dari tangga sambil berteriak ‘berubah’ lengkap dengan gerakan tangan ala power ranger? Ya, itu lebih cocok untukmu. (Sebentar! biarkan aku menyelesaikan ketawaku!)

 

Aku serius, apa kau benar-benar ingin jadi perawat? Ayolah aku tahu makna cengengesanmu ketika aku menanyakan ini. Apa kau menyukai topik ini? Kurasa tidak! Oke, akan aku tulis lebih dalam *smirk*

 

Seingatku dulu kau ingin jadi ilmuwan. Aku merasa ketika itu cita-citamu sungguh keren dibandingkan aku yang hanya ingin jadi guru. Dengan polosnya (bukan bodoh) aku langsung berpikir bahwa ketika dewasa nanti kau benar-benar akan jadi ilmuwan. Dan aku membayangkan kau dengan jas putih dan kacamata berbingkai hitam bekerja di ruangan putih memegangi gelas-gelas genting penuh asap, dengan rambut dikuncir keatas dan kening berkerut. Lihat, aku benar-benar punya imajinasi yang fantastis dan detail tentangmu. Dengar, seperti itulah anak jenius tak tertandingi memainkan imajinasinya. Bukan dengan menutupi wajah dengan sarung lalu mengayunkan sebilah bambu kesana-kemari dengan antusias. Mungkin menurutmu kau sedang jadi ninja, tapi menurutku kau seperti petugas ronda yang disorientasi waktu.

 

Uhmm, aku capek. Kau tahu aku sungguh harus bermalas-malasan beberapa hari ini. Maksudku aku harus menghemat energi. Banyak hal besar menungguku beberapa minggu kedepan. Aku harus kuat, tangguh, gagah dan perkasa.

 

Bagaimana menurutmu? Kurasa tidak begitu buruk. Biasanya aku bisa menulis dengan sangat hebat dan keren. Tapi otakku tak bisa diajak kompromi ketika menulis tentangmu. Tidakkah menurutmu lebih baik kita duduk dengan tenang, mengenang masalalu sambil nyeruput kopi dingin? Aku tak keberatan memberikan ampasnya untukmu secara cuma-cuma. *smirk*

 

 

Ditulis oleh Rizky Abdillah, Bandung, 19.08.2014 

 

P.S: Aku sudah membaca beberapa tulisanmu. Tidak begitu buruk untuk orang sepertimu. Dengan sedikit pelajaran dariku akan lebih bagus. Akan aku pertimbangkan kalau kau mengajakku duet menulis. 



....


Hidup hanya sekali. Entah kau berjalan di jalan benar atau sebaliknya, entah kau berjuang atau menyia-nyiakan hidupmu. Entah kau melakukan yang terbaik dan tak mau menyerah atau menyerah pada takdir, hidup tetap akan membawamu ke akhir, ke liang lahat.

Hal buruk mengerikan akan silih berganti terhampar di hadapanmu. Silakan pilih lari atau melawan.
Mereka bilang 'istirahat boleh tapi jangan menyerah!' Never quit!
Entahlah, pada akhirnya kau tak akan percaya semua kata bijak itu. Yang ada di pikiranmu hanya 'I'm done! I can't do this anymore!'

Bagaimana menurutmu. Pada hari itu, kau pernah berkata 'hidup tak akan bisa lebih kejam lagi padamu!' You got it wrong bro. Kenyataannya hidup makin kejam saja.

Sunday, June 16, 2019

LOST, might this is the end


Loe selalu bilang, isi kepala gua buaanyaaak banget. Banyak bangeet tab tab yang kebuka bersamaan. Yang bikin gua ga fokus. Bikin suka nge-hang.

Lalu apa kabar sekarang?
Ah andai loe tau berapa banyak mereka sekarang. Loe bahkan bisa ikutan gila.

Am sorry akhir-akhir ini hampir tidak pernah meluangkan waktu lagi buat loe. Ya, gua jarang ngirim pesan, jarang nyebut nama loe juga dalam kekalutan-kekalutan sepanjang hari.
What's the matter?
I found someone else!
Yap, I FOUND SOMEONE.
and it's a HE.

You must be surprised, so do I.
Me be like, "Seriously? Rite now? In this dying situation?"
But yeah, he's here, with me. Sounds a bit understand me.

I've no idea whether you like him or not, coz you both are so much different in everyway.
But it's not the problem now. I'll tell you 'bout him later.
I've my own death situation now and that's why I am here now.

First, my sincere apology for dissapointing you. I know, if you're here, you must be angry, dissapointed and mad of me.
I know. Me either.
But what should I do?

Wait, look.
What should I do?
WHAT SHOULD I DO?

I dunno whether you know this or not, but I tried my best. Trust me. I fought for this. I did my own best, and yet trying.
Trying itself's gonna kill me. But that's fine. Death is not a bad idea I guess.
Soon is better.

I gave my all. What else? Everything I can give, but that's not enough. Seems like never get enough.
Sometimes I think what am I supposed to do? Fight with my best of course. I did. But where is the finish line? Where is the limit? When is it gonna end?

I'm a bit tired. Ah not a bit, am so damn fuck*ng tired.
And today is the day I tell myself that it's too hard, it's too tough for me. That am so damn tired, and devastated, and feels like give up. I can't handle this anymore. Got an idea to quit.
In an official languange you can call it 'LOSE'.

I dunno what's your opinion 'bout this. But am pretty sure you'll be agreed this time.
Is it hard, huh?
Everybody said so, but life seems do not give a sh*t on this.
How am I supposed to be strong and get through these crazy sh*ts while am all alone with myself.
Wait, I do know that you'll say "You're enough! You yourself are all enough!"
I see.
But please understand, at this rate it doesn't work. You know it just like at another dimention, i can describe it in words. Me myself is not enough for this.
That's all.

So what now?
Am just a bit uncapable, a bit lost, a bit stupid, a bit upset, a bit offended, a bit mad, a bit broken, a bit dying.
Am just a bit suck.

So do you have any idea beside go to google and search "How to fake my own death?"

Jogja, 16.06.19
It's so damn blue here. At this point I confidently admitted "I need you right here right now!"
So where are you bro?
Btw, one line in X-Men Dark Phoenix reminds me of you "I always comeback to you!"
Such a liar huh?
I know, you wasn't.
I know you said that with all your heart, you always did.

What about give up? Huh?


You know, today is the day I feel like give up. It's hard. It's so damn hard.
How to say this in words, I couldn't find any to describe this feeling.

It's tough, it's hard, it's getting worse.
I suck.
This situation, no matter how positive I see this I couldn't find any way for an happy ending. Yeah, it's not gonna end well. It's bad. It's a way to hell.

So, what is your suggestion bro?
What about give up?
What do think 'bout that?
Coz I have any idea anymore.

Jogja, June 16th 2019
Bad day, yet I'm smiling

Wednesday, May 08, 2019

I am really sorry


I am really sorry...



Hi, how’s there? Been a long time huh?
finally today I searched for another proffessional's help, and guess what? Yap, she gave me 'that'. That scary shit.

I’m sorry! I AM REALLY SORRY. I am sorry for you. I am sorry for myself.
Hari ini adalah pembuktian lain bahwa aku tidak bisa menjaga diriku sendiri, seperti yang pernah loe bilang. You was right, you always be. Ya, seperti yang kau dan orang-orang tau, selepas kau pergi, aku porak poranda. Hidupku melambat, kuliahku berantakan, kesehatanku memburuk, aku kehilangan beberapa sifat baik yang kupunya dan menimbun segudang sifat buruk. Pola tidurku makin tak terkendali, kepalaku sangat berisik, terlalu banyak hal untuk dipikirkan dan dikhawatirkan. Aku ketakutan pada hal-hal yang belum terjadi. Tak luput satu haripun dalam dua tahun ini dimana aku bangun tanpa membawa kekhawatiran didadaku. Ya, aku insecure atas apapun, orang, masa depan, bahkan terhadap diriku sendiri.

Dan puncaknya hari ini. Aku tak bisa membayangkan apa yang akan keluar dari mulutmu jika kau tau kondisiku sekarang. Atau bagaimana reaksimu jika tau (terutama hari ini). Entahlah, aku kehabisan ide untuk mengkhayalkanmu. “Who the hell are you? I dunno who are you. You’re not Lani I knew!”
Same here bro.

Dan sekali lagi I AM REALLY SORRY. Aku minta maaf karena sudah mengecewakanmu dan orang-orang. Aku minta maaf karena tidak bisa menjaga diriku sendiri, tidak mampu berbuat baik pada diriku sendiri, tidak bisa mengandalkan diriku sendiri, dan lemah atas takdir ini. Mendadak jargon ‘love yourself’ yang sering kukampanyekan terasa sangat klise dan penuh kemunafikan. I love me, I know that. Hanya saja sekarang hidup membantingku sangat keras –aku ragu apa dikemudian hari aku masih punya kesempatan mendapat bantingan lebih keras dari ini- seolah memastikan aku tidak akan bangun lagi. Dan sepertinya itu benar.

Aku ragu apa aku bisa kembali seperti semula. 

Dan kau tau? Di beberapa kesempatan aku sangat ingin memakimu, meneriakimu dengan semua stok sumpah serapah yang kupunya. Tapi itu semua selalu (hanya) berakhir dengan “Loe dimana? Apa kabar?” Atau disaat-saat random aku hanya sanggup bergumam “I wish you were here!” Itu tak terdengar seperti Lani, bukan? I know! Semua hal padaku selama dua tahun ini tak pernah lagi ‘seperti Lani’. 

Hampir dua tahun. Ya, empat hari lagi genap dua tahun. See? Aku bahkan sangat pelit menghitung hari kepergianmu. Hari pertama puasa, Cia membuat status “am I the only one got excited ‘bout Romadhon but feel so damn pain at the same time?” 
Dia belum sembuh, I know. Pada dasarnya tidak seorangpun dari ‘kita’ yang bisa dikatakan ‘sembuh’. Semua orang masih membawamu kemana-mana. Masih berkaca-kaca jika itu tentangmu. Masih tercekat menyebut namamu. Pada titik ini aku suka berpikir ‘Who the hell are you? Sampai membuat luka segini dalam pada orang-orang yang kau tinggalkan?’

Well, as I said it almost two years. I’ve prepared my self for the worst pain and tears. Hehe..


Somewhere blue, 08 May 2019. 03 Ramadhan 1440H.
Once again, I wish you were here. I really do.

Monday, April 29, 2019

I Lost Me




I tried so damn hard. Trying itself’s gonna kill me.
Do you know that?
I did my best. I did every single thing I could do.
Do you see that?
I did everyhing, I tried every way. But that’s not enough.
I see.
It’s too hard for me. I’m dying.

Apa yang akan kau katakan jika disini? Memaki? Menyeret? Membenturkan kepalaku ke tembok? Atau membunuhku? Apapun itu, lakukan! Aku (bahkan) lelah dan marah dengan diriku sendiri.

Beberapa hari ini aku selalu berangkat tidur setelah tangisan yang panjang. Ya, sakit. Ah, bahkan kata ‘sakit’ tak bisa mewakilinya. Sebut saja semua kosa kata menyedihkan yang kau punya. Sakit, perih, tercabik, hancur, porak poranda, luka, berdarah, sekarat. Tak satupun bisa menggambarkannya.
Well, lupakan! Bukan itu yang ingin kutulis.

Kau tau, malam ini aku tersentak setelah tenggelam dalam lamunan yang panjang. Tersadar aku sedang berjalan ke liang lahat yang aku gali sendiri. Terus berjalan menuju lubang kematian yang kelam dan busuk. Kenapa aku melakukannya? Karena apa aku melakukannya? Mana diriku yang dulu? Mana Lani yang dulu? Lalu berakhirlah hari ini dengan tangisan tanpa suara. Ya, suaraku sudah hampir habis sejak kemarin-kemarin. Kau tau, yang kutakutkan (hampir) terjadi. AKU KEHILANGAN DIRIKU. Pada level ini biarkan aku meneriakkan dengan sekuat tenaga. I HATE ME. I HATE YOU LANI. YOU SUCK.
Kau marah? I see! Me either. But wait, am not done yet. Kau bisa membunuhku setelah aku menyelesaikan tulisan ini.

Tahun lalu, ketika ‘itu’ menghampiriku, aku sungguh ketakutan. Aku takut jika aku mendadak bangun di pagi hari dan tidak mengenal diriku lagi. Dan sekarang, sepertinya itu terjadi. Tak usah berkaca pada Lani usia belasan, atau awal-awal kuliah yang menggebu-gebu. Menyelesaikan ini itu sekejap mata, kesana kemari. Begitu banyak urusan yang menggantung dipundakku, and I did it. Lani di masa itu adalah Lani yang kuat, tangguh dan tak terkalahkan. Ya, kata ini tidak berlebihan jika kalian tau apa yang aku alami untuk bertahan. Lani di masa itu adalah Lani yang taat, yang memperpanjang bacaan solatnya, mencintai sajadahnya, yang suka bangun disepertiga malam, merutinkan dhuha dan tak pernah alpa puasa Senin Kamis. Lani di masa itu adalah Lani yang bahkan tidak punya waktu untuk bersedih, berkeluh kesah, apalagi khawatir. Hidupnya berjalan cepat dan sangat produktif. I miss that Lani.

Sekarang?
Seperti yang kubilang, hidupku mendadak melambat, jalan di tempat. Dan beberapa hari ini pikiran ‘itu’ muncul lagi. Easy bro, aku tak akan melakukannya. Aku masih mencintai diriku, Tuhan dan keluargaku. Ya, aku tak akan gantung diri. Aku hanya bilang, ‘what if…’ Dan entah darimana datangnya, aku mendadak memikirkan ajalku. Kira-kira kapan aku akan mati? Apakah aku akan berumur panjang? Seperti apa aku mati? Bagaimana akhirku? Apakah disaat-saat akhirku, aku berbahagia seperti yang kau selalu janjikan?
Aku banyak sekali berpikir beberapa hari ini. Tentangku, kau, orang-orang, hidup, mati, mimpi-mimpi yang tidak tau sekarang aku gantung dimana (aku bahkan lupa mereka apa aja). See? I AM SUCK. And I’m sure you’re agree with that.

Lalu apa sekarang? Kalau kau disini apa yang akan kau katakan? Apa yang akan kau lakukan? Sepertinya aku tau. Tapi kalau kau disini, ini semua tak akan terjadi btw.
Kau tau, aku sudah kehilangan sangat banyak sejak hari ‘itu’. SANGAT BANYAK. I know. Tapi maafkan aku karena aku membiarkannya terjadi, tak ada usaha untuk mempertahankannya. Aku membenci diriku untuk ini. Pada akhir hari, ketika menghitung apa saja yang hilang dariku hari itu, aku akan berakhir dengan negosiasi bodoh dengan diriku sendiri “At least you do not lose yourself, kid!”

Lalu kalau sekarang, jika aku bahkan kehilangan diriku sendiri, aku sudah tak punya apa-apa lagi bukan?


Just another waking night, 29.04.19 @03.00am
Btw, siapa tau kau ingin tau, sekarang aku mulai membenci malam. Aku membenci gelap, aku membenci hari yang berganti, aku membenci detakan jarum jam, aku membenci waktu yang bergerak cepat. Aku membenci melihat pergantian tanggal di layar ponselku. Aku membenci waktuku semakin habis. Aku membenci waktu yang (kubiarkan) direnggut dariku. Dari semua itu, kau tau apa yang paling kubenci? Aku membenci diriku yang membenci semua hal konyol dan bodoh dan tidak perlu itu.

Sunday, May 22, 2016

Let it go! I did!



"Minggu lalu, ketika kau mengatakan kau akan menyerah, aku tau kau tidak akan bisa!"
"Aku sungguh-sungguh kala itu!"
"Aku tau, kau selalu sungguh-sungguh dengan ucapanmu! Tapi kau tidak akan bisa sungguh-sungguh meninggalkannya! Kepalamu mungkin bersikeras kau akan bisa, tapi hatimu tidak! Aku benar, bukan?"
"Sekarangpun, aku sungguh-sungguh tak ingin peduli lagi dengannya! Tapi......"
"Tapi kau tak bisa!"
"Aku lelah!"
"Kau juga mengatakan hal yang sama minggu lalu!"
"Aku tau! Kau tau, lelah ini sudah ada sejak bertahun-tahun lalu! Sejak aku ratusan kali meminta hal yang sama padanya, tapi tak pernah digubrisnya! Sejak aku puluhan kali berusaha menariknya kejalan yang benar, tapi dia tak bergeming! Dia bahkan merasa terganggu dengan kehadiranku dan mulai mempertanyakan 'siapa aku untuk hidupnya?'"
"Aku tau!"
"Aku lelah! Sakit setiap kali melihatnya kembali jatuh dengan bangga dalam kubangan maksiatnya!"
"............ Apa kau percaya 'tangan Tuhan'?"
"....??"
"Ummm, bahwa ketika kau telah mengusahakan sesuatu, merubah sesuatu kearah kebaikan, melakukan usaha terbaikmu, bahkan kesakitan dan menderita karenanya, namun semuanya tampak tidak membawa hasil, maka itu saatnya untuk menyerahkan hasilnya kepada Tuhan, biarkan Dia bekerja!"
"Aku hanya tak ingin melihatnya menghancurkan hidupnya sendiri! Jika dimasa depan aku mendengar kabar buruk tentangnya, aku tak akan bisa memaafkan diriku sendiri!"
"Aku tau, aku tau!! Tapi kau tidak bisa menyiksa dirimu lebih parah lagi! Dirimu juga punya hak akan dirimu! Sekarang, kau menangis mengkhawatirkannya, tapi dia malah menertawakanmu! Kukatakan, bagianmu sudah lebih dari cukup! Kau tak perlu melakukan apa-apa lagi!"
".............."
"Belajarlah mengikhlaskannya! Tidak semua hal dapat kau lakukan! Kau tidak bisa menghapus segala kekecewaan dan kehancuran didunia ini! Kau tidak bisa membuat semua penduduk bumi masuk surga lalu mengosongkan neraka! Ikhlaskan! Dan berdamailah dengan dirimu sendiri! Ada hal-hal diluar kuasamu, diluar jangkauanmu! Yang bisa kau lakukan sekarang hanya berharap dan berdo'a, semoga Tuhan memberinya hidayah!"
"Aku ingin, tapi kau tau......."
"Aku tau! Kau ingin lepas, tapi pada dasarnya kau tidak berusaha melepaskan diri!"
"Maksudmu?"
"Kau tau, kau adalah orang dengan ego paling besar yang pernah kukenal!
"Kau bilang apa?"
"Egomu besar! Kau tidak bisa menerima kata kalah. Bukan! Kau tidak bisa menerima kata tidak menang. Kau melatih dirimu mendapatkan apa yang ingin kau dapatkan, merubah apa yang ingin kau rubah! Tapi kau lupa, tidak semua hal bisa kau lakukan! Tidak semua bisa kau rubah!"
"Yaakkk!!"
"Maka berdamailah dengan dirimu sendiri! Kau manusia, bukan dewa! Ikhlaskan apa yang tidak bisa kau dapatkan, berdamailah dengan jalanmu!"
"Aku,, aku sekeras itu?"
"Ya... Kumohon, lepaskanlah! Tidak ada yang memintamu memikul beban sebegini berat, kenapa kau menyiksa dirimu sendiri?"
"Aku, tidak......"
"Ya! Kau melakukannya!"
"..................."
"Kumohon hentikanlah! Lepaskan bebanmu! Lalu tunaikan hakmu pada dirimu!"
".......?"
"Tersenyumlah yang banyak! Tertawalah yang banyak! Berbahagialah!"
"Maksudmu, sekarang aku tidak bahagia?"
"Ckckk,,, ya ya yaa... Kau bahagia! Sangat bahagia! Ckk, perhatikan dirimu, jilbab acak-acakan, mata sembab, tampang dekil, dan itu, kapan terakhir kau mencuci muka?"
"Apa aku semenyedihkan itu?"
"Ohoh! Aku bahkan belum menyebutkan kantung mata, kuku panjang, insomnia, parasomnia, berat ba......"
"Arasso, arattagoo..."

Home, 21.01.16


Thanks for someone out there for saying 'kau tidak bisa membuat semua penduduk bumi masuk surga lalu mengosongkan neraka'. I see! I'll try to get it off my mind, but please make sure to keep staying there to remind me (in case I fall again)...

Menyerahlah! Bebaskan dirimu!



Sesuatu pasti telah terjadi, punggungnya bergetar. Aku mendekat, memastikan keadaannya, namun dia mendadak membalikkan badan - kearahku - membuatku menghentikan langkah, yang hanya tinggal tiga langkah dari tempatnya.
"Bisakah kau memelukku?" tanyanya setelah diam sejenak, mungkin terkejut dengan keberadaanku dihadapannya. Airmata tergenang dikedua kelopak matanya.
Aku menghela napas dalam dan berat, seperti biasa, dadaku mendadak sempit melihatnya begini. "Kemarilah!" balasku sambil mendekat.

"Aku tak akan memintamu berhenti, karena kau tak akan melakukannya!  Tapi kumohon......"
"Tidak! Kali ini aku akan berhenti! Benar-benar berhenti!" dia menganggukkan kepala, meyakinkan dirinya sendiri, sementara airmatanya kembali menggenang.
"Sudahlah! Kau tak perlu memaksakan diri begitu! Aku tau seberapa pentingnya dia untukmu, dan kau tak akan bisa berhenti berjuang untuknya!" Aku sudah sangat hapal drama hidupnya. Berkorban, tak dianggap, bersedih hati, berkorban lebih banyak lagi untuk kemudian kembali tidak dihargai. Bersedih hati lagi. Selalu pola yang sama. Terulang sepanjang waktu selama beberapa tahun terakhir.
"Kali ini aku sungguh-sungguh!" suaranya tercekat, genangan dimatanya hampir tumpah. See? Dia tak akan mampu. "Aku,,,, aku,,, sudah sangat lelah!" genangan itu mengalir turun, membuat wajahnya kembali basah. Aku menyodorkan tisu. "A,,, a,, ku lelah!" ujarnya disela bahu yang berguncang. Lelah? Akhirnya kata ini keluar juga dari mulutnya setelah bertahun-tahun. Biasanya aku yang selalu bertanya 'Apa kau tidak lelah? Hentikanlah!' Dan tentu saja tidak pernah dihiraukannya. "A,, aku,, aku tak sanggup lagi!" tangisnya makin menjadi. Aku tau, dia menangisi kalimatnya barusan - kalimat yang terdengar menyedihkan. Aku membuang muka sambil menghembuskan napas panjang. Kenapa aku harus selalu melihatnya begini? Hancur dan kesakitan? Kubiarkan dia kembali menangis. Tak ada yang bisa kulakukan untuk menghentikannya, toh tisuku juga sudah habis.

"Apa mataku bengkak?" tanyanya dengan tangan masih sibuk menghapus sisa-sisa tangis diwajahnya.
"Ya!" jawabku jujur.
Dia tersenyum, terlalu dipaksakan. Dia memperbaiki duduknya, menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan. "Kali ini aku benar-benar tidak akan peduli lagi. Sungguh! Aku hanya akan memberikan perhatianku untuk mereka yang juga memperhatikanku. Aku hanya akan berjuang untuk mereka yang juga berjuang untukku. Berkorban untuk mereka yang juga berkorban untukku. Sakit untuk mereka yang juga mau sakit untukku! Sungguh!" Kepalanya mengangguk yakin dengan bola mata yang membesar.
"Kau,,, kau yakin?" tanyaku ragu.
"Sudah kuduga kau akan meragukanku. Aku hanya....."
"Maksudku, kau tidak perlu memaksakan diri begitu! Tidak perlu membuat pernyataan apa-apa! Baik kau maupun aku sama-sama tau kelanjutannya!"
"Percaya padaku! Kali ini aku serius! Sungguh! Aku tidak akan menyiksa diriku lagi! Dia hidup dengan kacau, masa depannya hancur, dia mengambil jalan yang salah, aku tak peduli lagi. Kurasa yang kulakukan selama ini sudah lebih dari cukup. Toh pada dasarnya aku tidak punya tanggung jawab atas hidupnya. Dan aku tak perlu berbaik hati lagi mengorbankan kebahagiaanku untuknya!" dia tersenyum.
"Kurasa aku pernah mendengar itu sebelumnya!" ujarku tertawa. Ya, itu kalimatku. Kalimat yang selalu kutujukan padanya setiap kali dia menangis dan disakiti.
"Benarkah? Aku mendapatkannya dari seorang idiot jelek!" dia tertawa. Apa? Tertawa?
Kuamati ekspresinya, mencari kebohongan dan keterpaksaan disana. "Apa kita harus nonton film sedih sekarang?" kurasa dia jujur kali ini.
"Eh??"
"Agar kau bisa menangis sepuasnya!" jawabku mengangkat bahu.
"Ckk..." dia berdecak, berlagak kesal. "Kau pikir aku serapuh itu? Ck... Traktir aku kopi!" perintahnya dengan tangan terlipat didada.
"Kopi? Apa hubungannya?"
"Ckk.. Benar-benar idiot!" Dia berdiri, melangkah menuju jalanan. "Aku harus memastikan, kalau yang pahit itu tidak selalu buruk!"
Aku bangkit untuk menyusulnya. "Kau tak akan menyesali keputusanmu!"


Home, 17.01.16